Kampung Teluk Penadah, Teluk Intan, 1982.
Suara cengkerik malam bersahutan ketika Pak Mat, seorang guru AlQuran berusia 60 tahun, terbaring di atas tikar mengkuang di rumah kayunya yang sederhana. Lampu gas jenama Butterfly berdesir di sudut ruangan, menerangi wajahnya yang pucat. Di luar, bunyai katak menyahut dari arah Sungai Perak yang luas.
Anaknya, Kamal, berusia 25 tahun, duduk bersila di sisi bapanya. Tangannya memegang sehelai kain pelikat yang akan dipakainya nanti. Udara malam yang lembap membuat dahi Pak Mat berkerut.
"Bapak... bapak..." panggil Kamal lembut.
Tiba-tiba, Pak Mat membuka mata luas. "Jangan! Pergi! Jangan kau datang dekat!" teriaknya dengan suara parau.
Kamal terkejut. "Bapak, apa yang bapak nampak?"
---
Dalam pandangan Pak Mat, dua bayangan hitam muncul dari kegelapan. Yang satu mengambil rupa arwah ayahnya, yang lain rupa arwah ibunya.
"Mat, anakku..." bisik bayangan yang menyerupai ayahnya. "Ayah sangat sayangkan kau. Tapi ayah mati dalam agama Kristian, kerana itulah jalan yang benar..."
Bayangan ibu menambah, "Anakku, darah dagingku... Ibu mengandungkan kau, menyusukan kau, tapi ibu mati dalam agama Yahudi, kerana itulah agama terbaik..."
Pak Mat menggeleng kuat-kuat. "Tidak! Aku tahu ini tipu helah syaitan! Aku percaya pada Allah dan Rasul-Nya!"
---
Kamal yang tidak nampak apa-apa, hanya dapat memegang tangan bapanya yang semakin dingin. "Bapak, ucap La ilaha illallah..." desaknya.
"Tidak! Mereka masih di sini!" tolak Pak Mat, matanya liar memandang ke sekeliling.
Di kampung, jiran-jiran sudah mulai berkumpul di halaman rumah. Ada yang membawa pelita minyak, ada yang membawa lampu gas. Semuanya datang setelah mendengar khabar bahawa Pak Mat sedang nazak.
"Kasihan Pak Mat," bisik Mak Som kepada suaminya. "Dia guru yang baik, selalu ajar anak-anak kampung mengaji di surau."
Memori bergemuruh dalam fikiran Kamal - bapanya yang selalu membawa mereka mandi di Sungai Perak selepas solat Jumaat, mengaji di surau dengan pelita minyak, kehidupan sederhana yang penuh keberkatan.
---
Tiba-tiba, Pak Mat terduduk. Wajahnya yang tegang tiba-tiba tenang. Cahaya damai menyinari mukanya.
"Sudah pergi..." bisiknya lega. "Mereka sudah pergi..."
"Bapak?" Kamal mendekat.
"Tadi... syaitan datang dalam rupa arwah ayah dan mak," jelas Pak Mat dengan suara lemah. "Mereka cuba putuskan imanku... tapi Allah hantar malaikat tolong aku..."
Kamal segera mengambil air wuduk dari tempayan di dapur. Dengan hati-hati, dia membasuh muka dan tangan bapanya.
"Alhamdulillah..." bisik Pak Mat. Wajahnya semakin tenang. "La ilaha illallah... Muhammadur rasulullah..."
Dia memandang Kamal dengan penuh kasih. "Jangan lupa... ajar anak cucu kita... hadapi mati dengan iman... waspada tipu helah terakhir syaitan..."
Nafasnya semakin perlahan. Di luar, azan subuh mulai berkumandang dari surau kampung. Burung-burung mulai berkicau menyambut pagi.
Pak Mat tersenyum tenang sebelum menutup mata untuk selama-lamanya. Wajahnya bercahaya dengan kedamaian.
Kamal menitiskan air mata, tapi hatinya tenang. Dia tahu bapanya telah memenangi pertarungan terakhir - pertarungan antara iman dan godaan syaitan di saat kematian.
Dari kejauhan, matahari mulai terbit di seberang Sungai Perak, menyinari kampung yang masih tidur dalam kedamaian. Kehidupan di Kampung Teluk Penadah terus berjalan, dengan memori Pak Mat tetap hidup dalam hati anak-anak muda yang pernah diajar mengaji dengan sabar di surau kampung.
Dan malam itu, Kamal belajar satu pengajaran berharga - bahwa persiapan menghadapi kematian harus dimulai ketika masih hidup, dan kalimat tauhid adalah senjata terakhir seorang mukmin.
Tamat.
Diinspirasikan oleh kisah Imam Ahmad ibn Hanbal.
No comments:
Post a Comment