Thursday, December 11, 2025

Suatu masa

Azan Zuhur berkumandang sayup dari masjid berdekatan. Cahaya matahari masuk melalui tingkap hospital, jatuh tepat pada wajahnya yang tenang. Dia masih terbaring, lemah tetapi damai, seolah-olah malaikat sedang duduk bersama kami, menenangkan hati yang sedang diuji.

Aku duduk di sebelahnya, memegang tasbih kecil peninggalan arwah mama. Dengan tangan yang satu lagi, aku menggenggam tangannya yang kian sejuk.

“Sayang…” suara aku bergetar, “…abang ada sesuatu untuk kamu.”

Aku membuka surat yang sudah lama aku simpan dalam poket, kertasnya sedikit renyuk, tetapi setiap perkataan yang tertulis di atasnya datang dari hati yang penuh cinta dan penuh doa.

Dengan nafas yang berat, aku membacakan:

“Sayang,

Izinkan abang berkata benar, abang akan mencintaimu selagi Allah izinkan hati abang berdegup.

Kamulah rezeki yang paling abang syukuri,

tanda kasih Allah yang paling abang jaga.”

Dia mengerdipkan mata perlahan, seolah-olah mendengar setiap bait yang aku bacakan.

“Kalau satu hari nanti Allah ambil kamu dari sisi abang…abang redha.

Sebab kita ini hanya pinjaman,

datang dari-Nya dan kembali kepada-Nya.”

Air mata mengalir di pipiku tanpa dapat aku tahan. Tetapi aku tahu, cinta yang benar bukan menggenggam sekuatnya, cinta yang sebenar adalah melepaskan bila Allah meminta.

“Abang tak pernah ada pelan lain selain kamu.

Kamu dalam doa abang,

kamu saksi cinta abang,

kamu ada dalam separuh dari sujud-sujud malam abang.”

Tiba-tiba dia membuka mata, perlahan, seperti dalam mimpi. Nafasnya pendek, tetapi suaranya tetap lembut.

“Abang…” dia tersenyum. “Kalau saya pergi dulu… abang jangan berhenti berdoa untuk saya ya?”

Aku tunduk, mencium tangannya.

“Abang janji. Abang akan sedekahkan bacaan Al-Quran setiap hari. Abang akan doakan kamu sampai abang sendiri dijemput.”

Matanya berkaca-kaca. “Kalau… kalau kita tak sempat habiskan hidup bersama di dunia…”

Aku sambung perlahan,

“…kita sambung cinta kita di syurga, sayang. Allah janji, orang yang saling mencintai kerana-Nya akan dipertemukan semula.”

Dia tersenyum dengan tenang0seyuman terakhir yang Allah izinkan aku lihat. Nafasnya terhenti perlahan-lahan, seperti seseorang yang memilih untuk tidur setelah lama menahan sakit.

Aku tunduk, menahan esak, dan memeluk tubuhnya yang sudah kembali kepada Pencipta. Dengan suara serak, aku berbisik:

“Allahumma firlaha… warhamha… wa ja’al al-jannata maskanaha… Ya Allah, Kau bahagiakan dia di sisi-Mu.”

Surat di tanganku terjatuh, terbuka pada baris terakhir:

“Kau satu-satunya.

Kau amanah Allah yang paling abang syukuri.

Dan jika bukan di dunia…

abang akan menantimu di syurga.”

Pada hari itu, aku belajar satu hakikat: Cinta yang diserahkan kepada Allah tidak pernah mati, ia hanya menunggu untuk disempurnakan di negeri yang kekal abadi.

No comments: