"Hayati!” kata Muluk memecah tercengang Hayati dalam kamar itu.
"Di sinilah anak muda yang malang itu selalu menyedari nasibnya. Tetapi dari sinilah kemasyhurannya dalam kalangan kesusasteraan bangsa yang mulai tumbuh ini..."
“Kalau begini indahnya kamar ini, mengapa saya dilarang masuk‘?” tanya Hayati.
“Inilah sebabnya,” kata Muluk, sambil mengambil sebuah tongkat, berulukan gading, dari kemuning tua Donggala, kiriman kepala kampung di sana yang tertarik dengan karangan-karangan Zainuddin.
"Inilah sebabnya katanya sambil menghindarkan tutup sutera yang melindungi gambar di atas kepala almari kitab itu. Kiranya gambar Hayati yang telah diperbesar. Gambar Hayati semasa masih gadis. Di bawah gambar itu tertulis: "Permataku yang hilang”.
Hayati terkejut melihat gambar itu, wajahnya pucat, terlompat dari mulutnya perkataan: "0 ... Bang Muluk! Rupanya dia masih ingat akan daku!"
"Ingat, dan selamanya dia tak akan lupa. Tetapi Hayati yang dicintainya itu telah hilang.” "Dia masih ada Abang, ini dia!” "Hayati yang dicintainya tidak ada lagi, telah mati. Semangat Zainuddin telah dibawanya bersama-sama ke kuburnya. Hayati yang menumpang di rumahnya sekarang, adalah sahabatnya, isteri pula dari sahabatnya ...”
Diperturunkan pautan kepada Sandiwara Radio kisah ini yang dibikin kaset pada tahun 80an. Off course, membaca bukunya jauh lebih baik dari mendengar audio.
http://www.4shared.com/audio/qhc22fSB/hamka_--tenggelamnya_kapal_van.html
No comments:
Post a Comment